Selasa, 15 Juni 2010

KONDOM

Kita memang tidak bisa mensamaratakan sebuah kebiasaan dan budaya. Orang disini masih belum bisa melihat sepenuhnya kondom sebagai ‘alat’. Makanya ketika Julia Perez membagi kondom gratis dalam kemasan lagu lagu CDnya. Reaksi orang adalah mengganggap sebagai pendorong sex bebas.
Maksud Jupe – panggilan akrab Julia Perez - benar ingin berpartisipasi dalam kegiatan perlindungan AIDS, namun waktu dan tempatnya yang salah. Budaya kita masih belum bisa menerima seutuhnya pengertian kondom. Padahal di Thailand banyak bar pub memberikan token kenang kenangan kondom ketika kita membeli tiket masuk. Mau dipakai silahkan, tidak – juga nggak apa.
Mestinya Jupe membagikannya di Papua, dimana tingkat infeksi HIV salah satu tertinggi di Indonesia. Bukan di daerah yang masih konservatif.
Keluarga sepupu saya yang asli dari Solo, dan tinggal di luar negeri dulu pernah bercerita. Sewaktu hendak summer camp bersama sekolahnya, ia selalu dibekali kondom oleh ibunya ( bude saya ). Buat jaga jaga. Berarti orangtuanya sudah memprediksi pergaulan anak anak remaja ketika mereka keluat rumah.
Ini tidak salah, karena sebuah hubungan seksual di sana selalu mengisyaratkan condom is a must. Teman kuliah saya di luar dulu pernah bergumul dengan seorang gadis bule. Ujung ujungnya ketika mau pindah ke tempat tidur, si gadis bertanya.
“ Are you having a protection ? “
Teman saya melongo. Lupa. Akhirnya batal acara indehoy itu.

Tentu saja budaya di luar itu tidak bisa otomatis diterapkan di sini. Apalagi pemahaman tentang kondom masih belum begitu pas disebagian masyarakat kita. Dia masih diposisikan sebagai pelaku. Mesum dan Cabul.
Padahal kalau kita menset up pikiran kita bahwa kondom itu alat, banyak sisi lain yang bisa didapat dari sebuah kondom. Ia bisa juga menjadi barang souvenir. Oleh oleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar